Pengertian Autisme
Autisme berasal dari bahasa Yunani
“autos” yang berarti sendiri. Istilah ini menggambarkan keadaan yang
cenderung dikuasai oleh pikiran atau perilaku yang terpusat pada diri sendiri.
Peluang munculnya penderita autis sangat cepat. Tahun 1980- an, di AS, dari
hanya 4-5 anak yang autis per 10.000 kelahiran naik menjadi 15-20 per 10.000
kelahiran pada tahun 1990-an. Data pada tahun 2001 dari Centers for Disease
Control and Prevention di Amerika menunjukkan penderita autisme
sudah mencapai 60 per 10.000 kelahiran. Di Indonesia, hasil penelitian terbaru
menunjukkan satu dari 150 balita di Indonesia kini menderita autis. Laporan
terakhir badan kesehatan dunia (WHO) pun memperlihatkan hal serupa, yang mana
perbandingan anak autis dengan anak normal di seluruh dunia, termasuk Indonesia
telah mencapai 1:100. Hal tersebut diungkapkan dalam diskusi tentang Autis dan
Penanggulangannya yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 7 Maret 2005.
Autis
adalah gangguan perkembangan yang mencakup bidang komunikasi, interaksi, dan
perilaku yang terjadi pada awal masa kanak-kanak. Istilah autis menggambarkan
keadaan yang cenderung dikuasai oleh pikiran atau perilaku yang terpusat pada
diri sendiri. Gejala dan tanda-tanda anak autis ini didapat pada masa
anak-anak berupa perilaku yang suka menyendiri (menikmati bermain seorang
diri), keterlambatan perkembangan bahasa, menghafalkan sesuatu tanpa
berpikir, cemas dan takut akan perubahan, kontak mata dan hubungan dengan orang
lain buruk serta lebih menyukai gambar atau benda mati.
Autis berdasarkan waktu munculnya
gangguan dibagi 2, yaitu (1) autis yang terjadi sejak bayi, bisa terdeteksi
sekitar usia 6 bulan. (2) autis regresif, biasanya untuk anak usia 1,5-2 tahun,
ditandai dengan kemunduran kembali (regresi). Kemampuan yang diperoleh menjadi
hilang. Kontak mata yang tadinya sudah bagus menjadi lenyap. Jika awalnya sudah
mulai bisa mengucapkan beberapa kata, hilang kemampuan bicaranya.
Penyebab autisme adalah
gangguan perkembangan dan fungsi Susunan Saraf Pusat yang menyebabkan gangguan
fungsi otak, terutama pada fungsi mengendalikan pikiran, pemahaman, dan
komunikasi dengan orang lain. Gangguan pertumbuhan sel otak ini terjadi pada
saat kehamilan 3 bulan pertama. Kira-kira 60% anak autis mempunyai IQ di bawah
50, sedangkan sebanyak 20%-nya antara 50-70 dan hanya 20% yang mempunyai IQ
lebih dari 70.
Anak autis tidak mempunyai banyak
masalah medis yang perlu dipertimbangkan (kecuali penderita autis yang
mengalami epilepsi), namun pada umumnya tetap mengalami penderitaan penyakit
gigi dan mulut yang lebih berat, karena kondisinya yang tidak normal. Kesulitan
dokter gigi dalam menghadapi penderita autis adalah sulit berkomunikasi dan
berperilaku agresif. Penanganan anak autis lebih mudah dengan bantuan tenaga
kesehatan lain, orang tua, serta pembimbingnya.
Anak autis umumnya mempunyai suatu
kebiasaan yang teratur dan rutin dan biasanya lebih menyukai makanan lunak dan yang
manis-manis. Karena koordinasi gerakan lidah tidak teratur, sering makanannya
ditahan, diemut, dan tidak langsung ditelan. Kebiasaan ini ditambah dengan
konsumsi makanan yang manis-manis menyebabkan peningkatan kerusakan pada gigi
menjadi gigi berlubang.
Menurut dr Rudi Sutadi, dokter
spesialis anak yang juga Ketua Perhimpunan Autisme Indonesia, anak autis
harus terhindar dari bahan makanan yang mengandung gluten, kasein,
dan zat tambahan makanan (food additives) seperti MSG, pewarna makanan,
dan gula sintetis aspartam.
Gluten adalah protein dari tepung terigu dan hasilnya seperti
sereal gandum, barlei, oats, dan masakan yang dibuat dari tepung terigu seperti
mie, roti, cake, kue-kue kering, dan lain-lain. Sebagai bahan makanan
pengganti, dapat memanfaatkan makanan tradisional. Makanan berbahan tepung
beras, tepung jagung, tepung maizena, tepung tapioka dapat menjadi alternatif.
Kasein adalah protein dari susu, yang berasal dari hewan dan hasil
olahannya seperti keju, susu asam, mentega dan lain- lain yang dibuat dari
susu. Pengganti dari produk susu ini dapat diperoleh dari susu kedelai, susu
kentang, dan susu almond. Namun tetap hindari penggunaan Monosodium glutamat
(MSG), pewarna makanan, dan gula sintesis karena bagaimanapun produk itu
terbuat dari bahan-bahan kimia pada pangan olahan yang hanya berfungsi untuk
menambah rasa. Tidak ada bahan pengganti untuk produk ini.
Makanan yang dapat berpengaruh
positif pada anak autisme adalah niacin, asam pantotenat, vitamin B, dan
vitamin C. Sebelum menentukan pola makan untuk anak autis, orang tua
se-harusnya berkonsultasi dengan dokter ahli. Karena ada kemungkinan anak autis
alergi terhadap bahan tertentu seperti tembaga atau aluminium.
Anak autis memerlukan waktu untuk
membiasakan berkunjung berobat ke dokter gigi agar dapat menyesuaikan dan
menerima lingkungan tempat praktik. Persiapan ini memerlukan hubungan kerja
sama baik dengan kedua orang tua dan guru serta pembimbingnya. Supaya anak
autis tidak perlu menunggu terlalu lama dalam kunjungan berobat, buatlah janji
khusus dimana dokter gigi dapat langsung menangani tanpa perlu menunggu
giliran. Biasakan anak selalu menemui staf perawat gigi yang sama yang lincah
dan menyenangkan.
Sebelum perawatan dilakukan,
sebaiknya orang tua dan anak diperkenalkan dengan lingkungan perawatan. Dokter
gigi perlu berkonsultasi dengan orang tua mengenai teknik melatih anak di rumah
sebelum berobat. Alat bantu visual seperti gambar atau alat elektronik dapat
digunakan untuk mempersiapkan anak, sebab lebih mudah berkomunikasi dengan
gambar daripada bicara. Gambar dapat digunakan untuk melatih anak melakukan
sesuatu atau memberitahu dimana, kapan, apa dan bagaimana cara melakukan
sesuatu. Gambar ini juga dapat diganti dengan obyek, misalnya sikat gigi. Bisa
juga menggunakan obyek yang lebih lengkap sebelum melakukan perawatan gigi,
misalnya kamera digital, sikat gigi, dan pasta gigi. Selain digunakan sebagai
alat dokumentasi, kamera digital membantu menumbuhkan sikap kerja sama, karena
anak merasa senang dan tertarik terhadap gambar dirinya yang terekam di monitor
kamera.
Beberapa anak yang dirawat
menunjukkan sikap agresifnya seperti meronta dan berteriak. Keadaan ini bisa
diatasi dengan membungkus badannya dengan handuk besar miliknya dan didudukkan
di pangkuan pengasuh. Hal ini tidak berbeda dengan pemakaian perlengkapan
khusus dokter gigi untuk mengontrol gerakan anak selama perawatan.
Perawatan autis sebaiknya dilaksanakan di pagi hari saat dokter gigi dan
anak belum merasa letih, dan perawatan dilakukan dalam waktu singkat dan sebaiknya
orang tua disertakan dalam ruang perawatan. Kerja sama dokter gigi, orang tua,
dan pengasuh sangat penting untuk keberhasilan perawatan dan pemeliharaan
kebersihan gigi dan mulut anak autis.
sumber : Kiat Merawat Gigi Anak Oleh Drg. CHAERITA
MAULANI
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia 2 mengenai penalaran paragraf induktif, artikel tentang kesehatan.
Nama: Risandra Rejina
NPM : 25209527
Kelas : 3EB15
0 komentar:
Posting Komentar