RSS

Tantangan Profesi Akuntansi Indonesia


Tantangan Profesi Internal Auditor: Road Map for Governance Policy Period 2007-2030

Perkembangan implementasi CG diawali dengan adanya komitmen pemerintah untuk menerapkan prinsip GCG diikuti dengan pembentukan Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKG). Hal tersebut dilakukan pada saat Republik Indonesia menghadapi krisis ekonomi yang melemahkan sendi-sendi perekonomian negara. Melalui adopsi prinsip GCG tersebut diharapkan kegiatan perekonomian Nasional dapat segera pulih dan mampu berakselerasi lebih cepat, karena salah satu penyebab rentannya NKRI dalam menghadapi krisis adalah lemahnya penerapan GCG (ADB, 2000). Namun demikian, pada awal periode adaptasi prinsip CG tersebut di awal tahun 1997 tingkat awareness dari masayarakat atau pelaku bisnis belum sampai pada tahapan substantif. Dengan kata lain praktek-praktek governance yang berjalan masih bersifat sebagai sebuah kewajiban ketimbang kebutuhan..... form over substance.

Di dalam perjalanan penerapan prinsip CG hingga satu dekade berikutnya, fase penerapan CG di Indonesia masih berada dalam tahap introduksi dan berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian (awareness) terhadap berbagai aspek CG. Dalam periode ini, peranan pemerintah terlihat masih sangat dominan, sementara para pelaku bisnis, terutama non-multinational companies masih belum sepenuh hati di dalam menerapkan CG. Hal ini diduga disebabkan oleh karena belum terdapat bukti dan manfaat nyata (tangible) dari penerapan CG yang dilakukan. Namun demikian, dengan semakin gencarnya pemerintah untuk mendorong penerapan CG, terutama setelah mewajibkan perusahaan Publik dan BUMN sebagai lokomotif pengembangannya, maka telah dapat diamati terjadinya peningkatan yang signifikan dari implementasi CG. Minimal hal ini tergambar dari semakin banyaknya (kuantitas) perusahaan dan organsiasi lainnya yang mengadopsi CG.

Dari sudut pemerintah dan berbagai pihak, perkembangan penerapan CG dalam dekade pertama ini, juga ditandai dengan berbagai perubahan yang cukup signifikan sebagai “daya ungkit” (leverage) dalam upaya implementasi CG secara substantif. Disamping berbagai peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk mengadopsi praktik CG (seperti untuk BUMN, perusahaan yang Go-publik, institusi perbankan), maka telah dilakukan perbaikan terhadap lembaga KNKCG. Lembaga yang awalnya menggunakan nama Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) selanjutnya berubah menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Perubahan nama lembaga juga ini juga diikuti dengan perubahan paradigma pendekatan implementasi governance secara sistematis. Hal ini terbukti dengan memperhatikan governance untuk sektor publik (public sector governance), karena secara sistem keberadaan institusi publik berhubungan dengan institusi privat seperti perusahaan atau corporate.

Perkembangan institusi menjadi KNKG juga menandai perlunya perhatian yang berimbang antara implementasi CG di dua sektor utama tersebut; institusi korporasi yang bergerak di sektor riil dan institusi publik yang bergerak dan berhubungan dengan penyediaan infrastruktur dan kebijakan (termasuk moneter) yang akan mendorong berjalannya sektor korporasi secara lebih baik. Disamping perbaikan institusi KNKG, perkembangan lainnya yang dominan selama periode awal ini adalah dengan dikeluarkannya Pedoman CG baru (versi 2006) yang merupakan revisi dan penyempurnaan dari pedoman CG (governance code) versi tahun 2000. Namun demikian, terlepas dari perkembangan yang menggembirakan tersebut, implementasi CG di Indonesia belum mencapai tahap optimal yang diharapkan. Kurva PEM Governance pada gambar 1 di atas, memperlihatkan pasang surut implementasi CG selama periode tersebut, walaupun telah mengalami peningkatan yang berarti.

1. Tahap Introduction
Pada tahap sebelumnya (1997-2007) diasumsikan telah dilalui tahap Awareness. Pada tahapan ini “aware” (peduli) berhubungan dengan pemahaman terhadap keberadaan (apa, siapa, bagaimana, kapan dan dimana) terhadap berbagai aspek CG. Hal ini telah dilakukan melalui “sosialisasi dan komunikasi” terhadap stakeholders (internal and eksternal) dari setiap organisasi yang menerapkan governance. Dalam jangka waktu satu dekade dan diikuti dengan berbagai upanya nyata oleh berbagai pihak, maka tahapan ini dapat dianggap telah dilalui secara baik. Dengan demikian, untuk periode berikutnya (2007-2016), diharapkan fase implementasi CG di Indonesia telah dapat memasuki tahap berikutnya walaupun masih dalam kualitas penerapan masih mengacu kepada “conformity”.

2. Tahap Conformance
Pada tahap conformance di periode 2007-2016, akan dilalui tiga tahapan berikutnya yang dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, tahapan understanding atau memahami isu CG melebihi prinsip-prinsip dasar yang ada (TARIF), sehingga komunikasi menjadi lebih intensif karena memunculkan berbagai pertanyaan substansial tentang CG dan penerapannya. Pada penerapan ini, seharusnya para pelaku bisnis yang menerapkan CG sudah harus mempunyai kreangka pikir “beyond compliance” sehingga esensi dari CG telah dapat dipahami dengan baik. Namun demikian,pemahaman secara baik saja tidak cukup untuk mencapai penerapan kualitas CG yang lebih baik. Untuk itu diperlukan tahapan berikutnya berupa keinginan dari berbagai pihak untuk menerapkan CG secara sadar dan substansial.

Tahapan willingness to adopt berhubungan dengan pemahaman terhadap isu substantif CG, dengan pengertian bahwa CG tidak mempunyai arti jika tidak diikuti oleh keinginan (willingness) dari seluruh perangkat organisasi terkait untuk mengadopsi dan menerapkannya di dalam organisasi. Di dalam hal ini yang diperlukan adalah kesediaan untuk merubah cara berpikir (mindset) melalui change management yang terencana secara baik. Pada tahapan ini diasumsikan bahwa keinginan menerapkan perlu dilakukan untuk dapat memasuki tahapan substansial berupa komitmen untuk menerapkannya.

Pada tahapan commitment, pemahaman dan kesediaan menerima dan menerapkan prinsip governance sangat ditentukan oleh komitmen seluruh stakeholder di dalam mendukung implementasi CG (secara formal ditandai dengan penandatanganan pakta integritas, governance charter dan sebagainya). Jika dihubungkan dengan proses sekuensial penerapan CG sebelumnya, maka komitmen menerapkan ini tidak akan dapat dilakukan jika para governance stakeholders tidak peduli (aware) dengan keberadaan dan manfaat CG, tidak memahami (understanding) fungsi dan peranan serta tujuan CG yang dilanjutkan dengan adanya “niat” (willingness) untuk menerapkannya.

Upgrading posisi implementasi CG di Indonesia ke level medium diperkirakan akan terjadi pada tahiun 2012 yang diperkirakan terjadi pada tahapan “willingness to adopt”. Namun demikian hal ini hanya bisa di capai jika tahapan dan proses sebelumnya dilalui dengan baik serta memperoleh hasil optimal. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan posisi ini baru dapat di up-grade setelah memasuki tahapan committment. Sehingga dapat disimpulkan bahwa percepatan implementasi CG dan capaian (outcomes) dari hasil implementasi tersebut sangat ditentukan oleh partisipasi dan dorongan semua pihak atau stakeholders yang terlibat di dalam sistem governance.

3. Tahap Performance and Improvement
Diperkirakan, penerapan CG mencapai tahapan yang lebih baik (good) setelah memasuki periode ke tiga (2016-2022). Hal ini hanya dapat terlaksana jika semua proses sebelumnya dilalui secara baik. Pada tahapan ini esensi penerapan CG diperkirakan sudah memasuki tahapan performance. Pada tahapan ini seluruh perangkat organisasi (sub-system) telah menerapkan CG didukung perubahan mindset yang ada, sehingga muncul slogan “from conformance to performance”.

Pada tahapan ini, dengan asumsi seluruh perangkat governance yang dibutuhkan (governance structure dan governance system/termasuk governance mechanism) telah berjalan secara baik , maka outcomes “awal” dari implementasi governance seharusnya sudah dapat dirasakan (e.g. reduce of conflict of interests, improved performance, efficient allocation of resources dll). Sesuai dengan sudut pandang bahwa governance sebagai suatu system dan berada dalam suatu system yang lebih besar (NKRI), maka pada tahapan ini juga diperlukan pemahaman dan jaminan terhadap sustainability dari implementasi CG. Hal ini hanya dapat dicapai jika organisasi bersifat “dinamis” terhadap perubahan lingkungan serta melakukan berbagai “perubahan” secara “proaktif” (bukan reaktif). Pada tahapan lebih jauh, implementasi governance seharusnya sudah menjadi “jiwa” (soul) dari setiap individu dan elemen organisasi dalam bertindak dan mengambil keputusan. Sehingga pada tahapan ini CG sudah menjadi “embedded culture” dalam setiap organisasi. Pada tahap lanjutan yang perlu dilakukan adalah upaya untuk menjaga sustainablity penerapan CG secara substansial.

4. Tahap Sustainable
Pada tahap ini, terlepas dari berbagai uraian di atas, perlu dicatat beberapa hal berikut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi CG di Indonesia sesuai dengan format yang telah direncanakan.(1) Setiap organisasi dengan kondisi internal (walaupun berada dalam kondisi eksternal yang relatif sama dan uncontrollable) adalah berbeda, dan pada akhirnya akan memperoleh hasil penerapan CG secara berbeda pula. (2) diagnosis yang tepat terhadap kondisi organisasi serta desain system CG yang sesuai (appropriate) sangat menentukan tingkat kesuksesan implementasi CG. (3) Untuk kondisi Indonesia, tahap conformance (stage 1) telah berjalan cukup lama (1997-2007), namun belum mencapai/memasuki tahap performance (stage 2), diantaranya diduga karena tidak dapat melalui tahapan dalam stage 1 secara baik dan gradual. (4) Faktor eksternal terhadap kesuksesan implementasi CG (seperti rules and regulations, enforcement & culture) belum mendukung sepenuhnya penerapan CG di Indonesia. Dengan demikian diperlukan adanya dukungan dari seluruh elemen sub-sistem di dalam memperkuat CG sistem yang ada di dalam menjamin implementasi dan pencapaian CG outcomes.

Saat ini IAI sedang menghadapi perhelatan besar yaitu akan melaksanakan Kongres XI dimana kegiatan ini dapat dijadikan momentum untuk menuntaskan proses transformasi organisasi sebagai kelanjutan Kongres IAI sebelumnya. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pengurus baru yang akan disahkan dalam kongres ini. Adanya RUU tentang KAP dinilai sangat membahayakan eksistensi profesi akuntansi tentunya membutuhkan energi yang cukup dari pengurus untuk secara all out mencurahkan seluruh kemampuannya untuk berupaya menyelamatkan eksistensi profesi ini dengan mengajukan argumen kritis dan jernih, batas waktu penerapan konvergensi IFRS, persaingan akuntan asing, persentase usia akuntan publik sebagian besar sudah berusia 51 tahun keatas adalah gambaran beberapa masalah yang cukup krusial.IAI sebagai lembaga profesi mempunyai tanggungjawab untuk berupaya mencari solusi dari permasahan yang dihadapi oleh organisasi. Sebagai organisasi profesi tentunya masalah kepercayaan masyarakat adalah merupakan hal yang sangat penting, sehingga masalah integritas dan profesionalisme anggota adalah suatu tuntutan yang tidak bisa ditawar lagi. IAI harus menjadi lembaga pengawas yang konsisten bagi anggota yang melanggar. Kepercayaan masyarakat harus dibangun secara cerdas oleh pengurus, bagaimana IAI harus membentuk citra organisasi agar direspon positif oleh masyarakat. Selama ini harus diakui bahwa keberadaan profesi akuntansi ini masih bersifat eksklusif sepertinya hanya eksis dilingkungan internal saja, bahkan sepertinya “asyik sendiri”.Jarang terdengar “suara” yang menunjukan kepedulian organisasi terhadap permasalahan yang sedang menimpa bangsa ini padahal banyak kasus-kasus yang sebenarnya merupakan ranah, kompetensi dari profesi akuntansi. Kasus Century, kasus penggelapan pajak, kasus korupsi merebak dimana-mana tapi “sepi” dari saran, masukan, komentar yang produktif dari pengurus, pakar-pakar profesi akuntan. Anggota profesi mungkin perlu mulai belajar untuk berhadapan di area publik untuk menyampaikan pikiran-pikiran profesional untuk menunjukan bahwa profesi akuntansi pun memiliki kepedulian, empati dan kontribusi dalam pemecahan masalah bangsa. Tentunya profesi akuntansi ini bukan hanya milik pengurus atau anggota saja, tetapi lembaga ini adalah merupakan aset bangsa yang jika di berdayakan maka akan mampu memberi kontribusi yang signifikan dalam kemajuan bangsa, dalam hal ini pemerintah harus menunjukan komitmen yang tinggi untuk menjaga profesi ini tetap eksis dan tidak dibiarkan berjuang sendiri. Tema Kongres XI IAI yang diangkat cukup menjanjikan yaitu Introspeksi dan Transformasi Profesi Akuntansi menuju IAI 2020: Peran Akuntan dalam meningkatkan Nilai Tambah bagi Perekonomian Nasional. Jika tema ini dijadikan acuan bagi pengurus baru dalam melaksanakan program kerja maka profesi akuntansi dapat berharap bahwa cita-cita profesi akuntansi untuk tetap eksis akan terwujud, tetapi jika hanya sebagai pemanis kongres atau berhenti setelah hingar bingar kongres saja, maka 2020 hanya akan jadi kenangan.

sumber:  http://rizki-ahmad.blogspot.com/search/label/Etika%20Profesi%20Akuntansi
              http://destyapurwaningtyas.blogspot.com/2011/01/perkembangan-profesi-akuntansi-di.html

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 RR Blog's. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates